Waktu
telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Serombongan petambang menuju
Kawah Ijen dari Pal Tuding, Banyuwangi, Jawa Timur, Juli 2013 lalu. Saat
itu hawa dingin Gunung Ijen sudah menyergap para petambang yang bejalan
pelan menaiki punggung Gunung Ijen. Tentu saja hawa dingin bercampur
suasana gelap sudah akrab dijalani para petambang, karena lokasi inilah
sebagai satu-satunya mereka mencari nafkah dengan menambang belerang
dari dasar Kawah Gunung Ijen.
Dengan
tekad kuat berbekal sarung yang dibalutkan ke muka ala ninja Jepang dan
mengenakan jaket seadanya, mereka mulai melangkah dari pos
peristirahatan Pal Tuding. Kaki para petambang melangkah pelan menaiki
punggung gunung menuju pos Pal Bunder yang berjarak sekitar 2 kilometer.
Di pos Pal Bunder yang menjadi pos pemberhentian kedua menuju Kawah
Ijen, para petambang melepaskan lelah sejenak sebelum mulai mendaki
lagi menuju bibir Kawah Ijen.
Setelah
Pos Pal Bunder perjalanan terus naik sejauh 2 kilometer sebelum sampai
di bibir Kawah Ijen. Sesampainya di pinggir bibir Kawah Ijen, para
petambang harus turun menuju kaldera kawah sejauh 800 meter dengan
meniti tangga alam berupa tangga batu runcing sebagai pijakan kaki.
Pemandangan yang bisa kita saksikan di pinggir bibir Kawah Ijen saat
mata tertuju ke dasar kawah, adalah kepulan asap belerang yang keluar
dari dasar Kawah Ijen.
Inilah
saat para petambang belerang mulai mengambil bongkahan belerang padat
yang baru keluar dari lobang cerobong dengan menggunakan linggis dan
kapak. Petambang mengincar belerang sebagai sumber penghasilan rumah
tangga keluarganya, sementara para turis berasyik masyuk melihat
pemandangan indah yang tersaji di dasar Kawah Ijen. Sejurus bunyi
linggis dan hantaman kapak mulai menggema saat alat pemecah bongkahan
belerang padat dan keras ini mengenai belerang yang baru saja keluar
dari lobang cerobong.
Api
biru dan percikan api merah keluar dari lobang cerobong yang terus
menerus meneteskan cairan belerang yang langsung jatuh ke tanah bebatuan
di bawahnya. Ditingkahi asap pekat yang keluar dari sumur belerang lalu
tertiup angin Gunung Ijen, mulai menjebak para petambang dan turis yang
tengah melihat aktivitas para petambang bekerja. Asap pekat itulah yang
membuat para petambang berhenti sementara untuk mengambil bongkahan
belerang yang telah padat bentuknya.
Bunyi
batuk dari petambang mulai terdengar karena serbuan asap belerang yang
menyesakkan dada. Ada petambang yang mulai menghindar dari serbuan asap
belerang. " Kalau sudah terjebak asap belerang, petambang mesti berhenti
bekerja, " ujar Suadi, salah satu petambang.
Pengalaman
bertahun-tahun menambang belerang dari Kawah Ijen tidak membuat
petambang kebal dari serbuan asap. Mereka pasti terbatuk-batuk dan
menutupi mulut dan hidung dengan masker atau sarung tebal. Para
petambang harus segera mengambil pecahan bongkahan belerang
sebanyak-banyaknya karena khawatir angin yang berhembus dari segala arah
di siang hari, akan menjebaknya dan sulit keluar dari lokasi
penambangan belerang.
Dengan
mengumpulan sisa tenaga yang ada setelah menambang belerang di dasar
Kawah Ijen, para petambang harus segera memikul bongkahan belerang yang
sudah dimasukkan ke dalam keranjang. Mereka memikul belerang seberat 60
hingga maksimal 70 kilogram sekali angkat dari dasar Kawah Ijen. Para
petambang kembali harus meniti tangga batu naik ke atas hingga mencapai
bibir kawah.
Struktur
tanah bebatuan yang labil dan tajam dan menanjak naik, membuat para
petambang harus berhati-hati melangkah. Di beberapa titik dalam
perjalanan naik kembali ke bibir kawah, terdapat ruang berongga di
dinding batu. Tempat favorit inilah menjadi tempat istirahat para
petambang untuk melepaskan lelah sejenak sebelum sampai ke bibir kawah
di atasnya.
Tempat
berongga ini juga dimanfaatkan para petambang untuk menghindar dari
senggolan petambang lain yang kebetulan sedang naik, sementara petambang
lain sedang dalam perjalanan turun ke dasar kawah. Sesampai di bibir
kawah, perjalanan petambang turun gunung dimulai lagi hingga mencapai
pos pemberhentian di Pal Bunder. Di tempat inilah masing-masing
petambang menimbang belerangnya yang dihargai Rp 780 per kilogramnya
saat ini.
Dua
kali saya berkunjung ke Kawah Ijen, jalan setapak naik dan turun tetap
sama arahnya. Para petambang kembali meniti jalan setapak dari Pos Pal
Bunder hingga tiba kembali di Pos Pal Tuding. Di Pos Pal Tuding inilah
para petambang melanjutkan kembali membawa belerangnya hingga ke
Tamansari Banyuwangi.
Suasana penambangan belerang di tahun 1989
hingga 2013 barangkali tetap sama nuansanya. Yang membedakan barangkali
para penambangnya. Ada yang sudah pensiun, ada pula yang masih bekerja
keras menambang belerang. Yang masih saya ingat adalah semangat kerja
bapak-bapak penambang ini dalam bekerja menambang belerang dimana saat
ini mereka sudah mendapatkan jaminan kerja dari perusahaan yang
menambang belerang Kawah Ijen.
Sumber Tulisan : Foto Pekan Ini / Bahana Patria Gupta / Library.
0 komentar