Siapa sangka, kulit pisang yang selalu kita buang ternyata bisa djadikan sumber energi. Para peneliti dari Universitas Nottingham, Inggris menemukan cara untuk mengolah sampah kulit pisang yang banyak terdapat di Afrika, menjadi bahan bakar sumber energi.
Kulit pisang itu diubah menjadi semacam briket yang bisa dibakar dan digunakan untuk memasak, penerangan, dan pemanas ruangan. Penemuan briket dari kulit pisang ini bisa menggantikan penggunaan kayu bakar dan mengurangi penebangan pohon.
Di beberapa negara di Afrika, seperti Rwanda, terdapat banyak sekali pohon pisang. Pisang juga diolah menjadi makanan dan minuman, karena itu banyak terdapat sampah kulit pisang. Agar tidak menjadi sampah yang terbuang percuma, para peneliti memanfaatkannya menjadi bahan bakar yang bisa digunakan oleh masyarakat setempat.
Untuk membuat briket kulit pisang, pertama-tama kulit pisang yang telah membusuk dicampur dan ditumbuk menjadi satu, kemudian dibakar. Setelah dibakar, kulit pisang tersebut akan berubah menjadi seperti bubur. Kemudian bubur akan dicampur dengan serbuk gergaji kemudian dipadatkan atau dikompres hingga terbentuk seperti balok kemudian dibakar kembali.
Selesai dibakar balok siap untuk digunakan. "Pembuatan briket pisang ini menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Kami membuatnya hanya dengan tangan dan tanpa bantuan peralatan mekanik," kata Mike Clifford salah satu peneliti dari Universitas Nottingham.
Selain kulit pisang dimanfaatkan sebagai bahan bakar sumber energi ternyata kulit pisang yang biasa kita buang ke tong sampah bisa menangkap timbal dan perunggu dalam air. Sebuah studi yang mendalami masalah pemurnian air dari logam berat baru saja dirilis dalam jurnal ilmiah keluaran American Chemical Society berjudul Industrial and Enginering Chemistry Research.
Penelitian menyebutkan kulit pisang selain mejadi bahan bakar energi juga berguna untuk menangkap timbal dan perunggu dalam air. Penelitian yang kesekian kalinya terkait pemanfaatan kulit pisang dalam pemurnian air terkait logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Logam berat seperti timbal dan perunggu kerap ditemukan dalam perairan yang tak jauh dari lokasi pertambangan.
Pemurnian air dalam jumlah besar menggunakan material sintesis. Selain harganya mahal, proses pembuatan material ini juga melibatkan zat kimia sehingga justru menghasilkan limbah beracun. " Kulit pisang harus diujikan dalam skala industri lebih dulu, " kata Gustavo Castro, kimiawan lingkungan di Universitas Negeri Sao Paolo Brasil yang terlibat penelitian pemurnian air. Temuan itu sangat bermanfaat tentang isu kelangkaan air bersih saat Hari Air Dunia yang diperingati pda 22 Maret 2011.
Ide pemurnian air dengan bahan baku kulit pisang diakui Castro datang dengan sederhana. Castro yang sedang makan buah pisang di rumahnya, lalu memandangi kulit pisang. Ia merasa ada sesuatu yang berguna dari kulit pisang ini. Biasanya kulit pisang lalu dibuang ke tong sampah. " Saya merasa ingin berbuat sesuatu dengan kulit pisang itu, " ujar Castro. Apalagi selama ini kulit pisang dikenal bermanfaat untuk memoles perak dan sepatu kulit. Maka Castro dan koleganya ingin membuktikan apakah kulit pisang juga bisa berguna sebagai pemurni air.
Castro mengatakan, " Kulit pisang terdiri atas sejumlah nitrogen, sulfur dan komponen organik seperti asam karbosilik. Asam itulah yang memiliki semacam energi negatif untuk menarik energi positif yang biasanya dimiliki logam berat dalam air," katanya. Penelitian menemukan kulit pisang bekerja lebih baik dalam memurnikan air dari tembaga dan timbal, ketimbang memakai alat pemurni air lainnya.
Tim peneliti lalu terjun ke Sungai Parana Brasil. Dalam penelitian di sungai ini terbukti kulit pisang mampu menyerap logam berat. Tim peneliti lalu merancang perangkat pemurni air dari lapisan yang terdiri dari campuran kulit pisang basah dan kering. Air dialirkan melalui lapisan itu dimana unsur logam berat dalam air menempel pada kulit pisang. Selepas melewati kulit pisang, air yang mengalir tak lagi mengandung logam berat.
Castro lalu mencatat bahwa alat pemurni yang terdiri dari lapisan kulit pisang itu dapat digunakan sampai 11 kali tanpa kehilangan komponen penarik logam berat. " Kapasitas ekstrasinya lebih baik dibandingkan sejumlah material sintesis yang dibuat dalam dekade terakhir, " tegas Castro. Selama ini material sintesis lebih sering digunakan, namun material alami seperti kulit pisang itu jauh lebih murah, gampang diperolah di sekitar tempat tinggal plus tidak membutuhkan bahan kimia saat proses pembuatannya.
" Upaya selanjutnya mengaplikasikan material ini dalam skala industri. Tapi jangan buru-buru mencoba kulit pisang untuk memurnikan air yang ingin Anda minum," kata Castro mengingatkan. Sebab kulit pisang belum terbukti mampu menyerap polutan selain timbal dan tembaga. " Bisa jadi masih ada bahan beracun lain dalam air, " jelas Castro yang juga mengadakan penelitian di Biosciences Institute di Botucatu, Brasil. Peringatan Castro langsung merujuk pada rumah tangga yang kekurangan air bersih layak minum.
Maklum isu air bersih menjadi perhatian khusus masyarakat dunia pada peringatan Hari Air Sedunia pada 22 Maret. Untuk Indonesia, data Kementerian Kesehatan 2010 cuma 36,6 % masyarakat Indonesia yang dapat mengakses air bersih, minimal 100 liter per orang setiap hari. Jadi kalau dihitung secara nasional, sebanyak 14 % warga Indonesia masih sulit mengakses air bersih, di bawah 20 liter per orang dalam sehari. Pada skala dunia, satu dari lima orang kesulitan mengakses air bersih.
Teknologi pemanfaatan kulit pisang selain untuk pemurnian air dari kandungan logam berat dan menjadikan kulit pisang sebagai bahan bakar energi, semoga bisa dipraktekkan di Indonesia. Mengingat Indonesia sebagai negeri kepulauan yang dilintasi khatulistiwa, pohon pisang dari berbagai varietas tumbuh subur di sini dalam jumlah banyak. Daripada kulit pisang dibuang sembarangan setelah buahnya kita konsumsi, akan lebih baik dimanfaatkan untuk keperluan di atas. Semoga menjadi kenyataan.
Sumber : muslimdaily.net/Sica Harum/Livescience.
0 komentar