Batik tulis sebagai peninggalan nenek moyang Indonesia ternyata membutuhkan kesabaran tersendiri dalam proses produksi. Seiring dengan perkembangan seni batik tulis banyak pembatik muda bermunculan di sentra industri batik, utamanya Solo, Jogja, Pekalongan, Banyumas, Indramayu, Cirebon dan Lasem. Namun ternyata bukan kota itu saja sentra batik berproduksi. Adalah Tuban kota pesisir di Jawa Timur juga tak mau kalah dalam produksi batik tulis. Di sini pembatik muda berkarya bersama pembatik tua yang masih tekun membuat batik tulis gaya Tuban.
Di sentra batik Tuban inilah Mbah Kasni seorang nenek berusia lebih dari 70 tahun masih berkarya menggoreskan cantingnya ke kain mori putih yang kelak akan menjadi kain batik corak pesisir Tuban. Mbah Kasni ternyata masih mampu berkarya membatik meski usianya sudah senja. Selain pekerjaan ini bisa menopang kebutuhan keluarga sehari-hari, membatik juga membutuhkan keuletan dan kesabaran sendiri. Bagaimana Mbah Kasni membatik, tim liputan televisi Jawa Timur yang diawaki Heri Setiawan baru-baru ini berkunjung ke bengkel kerjanya dan menyajikannya dalam segmen asli Indonesia berikut ini.
Mbah Kasni meski usianya sudah mulai uzur, namun semangat bekerjanya sungguh luar biasa, bahkan mengalahkan pembatik wanita yang masih remaja. Sekalipun rambutnya sudah beruban dan tenaga membatik sudah mulai berkurang, namun kemauannya membatik dan hasil karyanya membatik mampu mengalahkan para pembatik muda di desanya. Pembatik asal Desa Sumurgung, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban ini membatik sejak usia lima belas tahun.
Awalnya ia hanya melihat-lihat orang tuanya yang sering membatik. Lewat pengamatan itulah mulailah Mbah Kasni muda mencoba meniru menggerakkan canting pada sehelai kain putih, mengikuti pola pergerakan canting yang diajarkan orang tuanya. Dari berani mencoba membatik akhirnya pekerjaan inilah yang ditekuninya hingga sekarang ini. Sudah tidak terhitung lagi berapa hasil kain batik tulis yang telah dia buat.
Selain membatik meniru pola batik ciptaan orang lain, Mbah Kasni juga menciptakan motif batik lain seperti motif macanan, jeluran, putihan, salakan dan lain sebagainya. Sekalipun sampai usia senja hanya sebagai pembatik yang bekerja untuk pengusaha batik, Mbah Kasni tidak berkecil hati untuk pekerjaan ini. Baginya ia sudah puas menjadi buruh batik dengan upah sangat kecil untuk ukuran ekonomi desanya. "Rejeki tidak akan kemana-mana dan Tuhan sudah mengatur jalannya untuk mendapatkan rejeki, " katanya. Dengan membatik sudah merupakan kepuasan bathin sendiri.
Sekalipun batik sudah diakui dunia sebagai warisan adiluhung peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia, Mbah Kasni merasakan keprihatinan mendalam jika waktunya telah tiba pulang ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, tak seorang pun anak-anak ataupun cucunya mau meneruskan keahlian membatik ini. Dengan kata lain anak dan cucunya tidak mau bekerja sebagai pembatik, tetapi lebih memilih bekerja di bidang lain yang mampu menghasilkan lebih banyak uang. Apalagi membatik dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan yang tidak semua anak muda mau melakukannya.
Di tengah kemajuan zaman teknologi informasi dimana akses informasi mudah didapatkan setiap orang, ternyata Mbah Kasni tetap tekun membatik di tengah serbuan batik printing yang diproduksi masal oleh pengusaha batik printing. Ia terus berkarya dengan sisa-sisa tenaga sepuhnya. Sepertinya dia ingin mewarisi dan sekaligus melestarikan seni budaya asli Indonesia ini. Dia tidak rela bila karya seni batik ini diambil atau diakui oleh bangsa lain sebagi hak ciptanya. Mbah Kasni tidak rela...untuk itulah ia akan terus menggoreskan canting ke motif kain batik sampai ia tidak mampu lagi membatik.
Ilustrasi Gambar : uni haruni wordpress.com dan agilini.us ( batik rakyat buatan nenek ).
0 komentar