Sekalipun
dunia telah memasuki abad milenium dengan kemampuan manusia menciptakan
alat komunikasi massa seperti internet, radio, televisi, satelit,
pesawat ruang angkasa dan sederetan produk canggih teknologi, namun
dibandingkan dengan misteri yang ada di alam semesta ini agaknya
terobosan teknologi tinggi itu tidak ada artinya bila masih banyak hal
yang belum dijelaskan oleh logika.
Apa
yang pada zaman dulu diangap mujizat pada abad ini telah dapat
dijelaskan secara rasio. Umpamanya alat bantu telepon yang dulu dianggap
ada jin nya, karena sebuah kotak kecil mungil bisa digunakan bicara
melampaui samudera dan benua. Tapi saat ini sudah tak ada lagi yang
mempersoalkan keberadaannya.
Kejadian
di atas sebagai contoh saja. Lima puluh tahun silam hal itu tidak
mungkin, nonsence dianggap ada sihir, jin, kuasa kegelapan ternyata saat
ini tidak diperdebatkan lagi. Demikian pula Reiki pada awal
kedatangannya di Indonesia sekitar 1996 juga menjadi perdebatan
bagaimana dengan menempelkan tangan saja keluhan penyakit manusia
berangsur hilang. Bahkan pasien yang tidak berada di depannya saja bisa
disembuhkan.
Jangan-jangan
ini menggunakan jin. Ah jangan terlalu berprasangka demikian. Reiki
adalah teknik penyembuhan semata berdasarkan kepasrahan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa yang sejatinya Dialah Sang Penyembuh Sejati. Manusia
sebagai perantara saja tidak lebih.
Kita
sendiri sebenarnya jujur mengetahui bahwa pada awalnya tidak mudah
menerima keadaan ini seutuhnya yang hanya dengan mengangkat tangan dan
berdoa lalu penyakit hilang. Manusia sudah terbiasa mengukur dan
membedakan berdasarkan rasional tidaknya suatu hal. Kita sebenarnya
sudah terbiasa terkotak-kotak antara kebenaran yang postulat dan
kebenaran yang empirik. Tuhan Yang Maha Esa memberikan kita akal budi
dan kebebasan penuh untuk memahami kejadian-kejadian di alam semesta ini
serta memanfaatkan untuk kebaikan manusia sejalan dengan agama yang
diimaninya.
Namun
hidup penuh dengan romantika, ada kalanya akal budi sejalan dengan alam
semesta. Tapi tidak jarang muncul kontoversial baik karena
ketidaktahuan manusia itu sendiri maupun sengaja diciptakan karena
berbagai alasan. Setiap orang normal bila menderita sakit pasti ingin
mendapatkan kesembuhan mulai dengan istirahat, minum obat, pergi ke
dokter, sinshe dan ke tempat lain yang sekiranya bisa mendapatkan
kesembuhan bagi dirinya. Namun bila kesembuhan itu belum berpihak
padanya ia tetap konsisten mencari alternatif lain dari cara penyembuhan
sehingga mendapatkan jodoh kesembuhan di antaranya lewat Reiki.
Lalu
bagaimana kita dapat memastikan bahwa teknik penyembuhan Reiki tidak
mencederai iman? Untuk itulah kita diberi akal budi dan nurani oleh Sang
Pencipta. Setiap gerak langkah praktisi Reiki maupun pasien selalu
diawali dengan doa sesuai iman masing-masing. Kita sadar bahwa praktisi
Reiki bukanlah si penyembuh dalam arti kata yang sebenarnya. Si
penyembuh sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Penyembuh atas
segala penyakit.
Segala
upaya penyembuhan yang dilakukan maupun dengan menggunakan tata cara
Reiki berikut simbolnya sama sekali tidak masuk ke dalam konteks
pemujaan kekuatan-kekuatan lain, selain hanya mengandalkan kepasrahan
diri ( berserah diri, tawakal ) semata kepada Sang Maha Penyembuh. Reiki
dengan segala atributnya hanyalah jalan, upaya, iktiar lain selain
pengobatan medis dan herbal dalam mencari kesembuhan diri tanpa harus
menyinggung aqidah iman seseorang apalagi sampai mengorbankannya.
Yang
bersumber dari kegelapan tidak akan memancarkan cahaya. Seperti juga
pohon yang busuk tak akan menghasilkan buah yang baik. Manusia diberi
kebebasan penuh oleh Sang Pencipta, bebas memilih jalan hidupnya yang
kelak akan dipertanggung jawabkan kepada Ilahi.
Maka
siapapun Anda bila merasa Reiki semakin menjauhkan iman Anda dengan
Tuhan maka Anda wajib membuangnya jauh-jauh. Sebaliknya bila Anda yakin
setelah menerapkan Reiki dalam kehidupan Anda dan semakin dekat kepada
Tuhan maka buanglah segala keraguan itu karena hidup yang dilalui dengan
keraguan hanya akan membuat sengsara.
Upaya
mencari pencerahan diri sering kali terjegal atau bahkan dijegal oleh
faham fanatisme yang keliru. Orang tidak hanya bersujud saja kepada
Tuhan tetapi juga peduli kepada sesama di sekitarnya yang membutuhkan
pertolongan tanpa mengenal perbedaan ras, agama status sosial dan
kebangsaan.
Mustahil
kita mengasihi Tuhan Yang Maha Gaib kalau dalam diri tidak mau
mengasihi sesamanya yang jelas tampak di depan mata. Mengasihi Allah
hendaknya vertikal dan horizontal.
0 komentar