Sudah
cukup lama Bude Jamu Gendong yang sering lewat di depan rumah saya
tidak berjualan. Barangkali beliau sedang pulang kampung ke Wonogiri
untuk kembali bertani. Mengingat bulan Desembar 2012 sudah turun hujan
di kampungnya, ada benarnya beliau rehat sejenak dari berjualan jamu,
lalu kembali mengolah sawah ladangnya bersama suami tercinta.
Bude
Jamu Gendong memang sudah akrab dengan lingkungan sekitar tempat
tinggal saya sejak tahun 1985, di saat anak-anak saya belum lahir.
Beliau tiap pagi atau sore hari selalu berjualan sambil ngider keliling
kampung bahkan masuk kawasan pedesaan yang masyarakatnya juga sudah
akrab dengan tradisi minum jamu. Lalu apa sebenarnya keistimewaan dari
jamu gendong yang bude jual, sehingga masyarakat khususnya ibu-ibu rumah
tangga begitu gandrung ketagihan minum jamu?
Sejak
lama jamu sudah dikenal sebagai obat tradisional yang ampuh mencegah
sekaligus mengobati penyakit manusia. Kalau Jepang bangga dengan produk
kesehatan unggulan berupa ragam jenis teh, Indonesia yang kaya akan
rempah-rempah juga memiliki produk kesehatan yang tak kalah bagus
mutunya, yaitu jamu. Jadi tidak ada salahnya tradisi minum jamu
tradisional terus dilestarikan, mulai dari generasi nenek, anak, cucu,
cicit dan anak keturunannya kelak.
Bahkan
nenek moyang suku-suku yang ada di Indonesia pada zaman dulu, saat
manusia masih bersahabat dengan alam, tabib atau juru sembuh keluarga
raja memanfaatkan tumbuhan yang ada di hutan untuk mengobati berbagai
macam penyakit. Tumbuhan dalam belukar hutan pun menjelaskan bahwa akar (
rimpang ), daun, buah, bunga dan batangnya semua bisa dipetik manusia
lalu dimanfaatkan untuk sarana penyembuhan yang berkhasiat bagi
kesehatan manusia di jaman itu.
Jaman
berkembang hingga waktu sekarang dimana berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bagian tumbuhan itu bisa diolah menjadi bahan
pengobatan yang disebut dengan herbal. Dari yang semula jamu digendong
oleh Bude Jamu dan dijajakan keliling kampung, mulai dilirik oleh
pengusaha bermodal kuat. Pengusaha bermodal kuat itu pun lantas
membuat jamu serupa dalam bentuk kemasan dengan menggunakan mesin
pengolah bahan di pabriknya.
Tenaga
kerja pun mulai tersedot ke industri jamu. Produk jamu pabrik pun mulai
merambah pasar. Lahirlah jamu dengan ragam bentuk yang lebih lengkap
dan modern tersedia di toko modern. Namun apakah dengan adanya mesin
pembuat jamu modern, lantas Bude Jamu Gendong dan bude-bude lainnya yang
berkebaya menggendong jamu dalam botol dalam tenggok juga tergusur?
Tidak,
bahkan generasi penerus Jamu Gendong Bude pun mulai bermunculan. Kalau
Bude Jamu Gendong yang mulai sepuh tanpa gincu di bibirnya masih saja
laris dagangan, generasi penerus Bude Jamu Gendong pun diharapkan juga
laris dagangan jamunya. Salah satunya, Ju Jum penjual jamu gendong yang
sering sehat dengan reiki temui dan sapa setiap pagi di desa tetangga saat saya sedang olahraga jalan kaki.
Kalau
Bude Jamu Gendong di waktu senggangnya tetap memakai kebaya, Yu Jum
sebaliknya. Saya sering berjumpa dengannya di pasar, dia mengenakan rok
atau celana panjang dan dibibirnya terpoles gincu tebal saat berbelanja
bahan pembuat jamu. Yu Jum dengan tangkas berani naik sepeda motor,
sebaliknya Bu De Jamu Gendong membonceng tukang ojek motor saat
berbelanja bahan jamu di pasar.
Nah
didapurnya yang sederhana itulah, Bu De Jamu Gendong mengolah bahan
pembuat jamu. Ada kunyit, temu lawak, jahe, meniran atau rempah lainnya.
Semua bahan jamu tadi dideplok dalam lumpang batu sambil mendengarkan gending-gending klenengan Jawa dari kaset yang diputarnya pelan-pelan.
Barangkali
Bude Jamu Gendong dan Yu Jum terus menggugah kesadaran masyarakat untuk
melestarikan budaya minum jamu. " Jamune, Bu? " teriaknya saat
menjajakan jamu gendong. Bu De Jamu Gendong dan Yu Jum masih terus
berjualan hingga saat ini, melayani pelanggannya. Bapak-bapak tukang
gali kabel yang sering menggali kabel telepon dan internet di
lingkunganku pun tak mau kalah menyeruput jamu buatannya.
Foto by : Klinik Fotografi Kompas.
0 komentar