Kamis sore 18/3 kemaren saat berkendara menuju kantor di bilangan kawasan Senayan, sehat dengan inti intinya reiki menyempatkan diri mampir ke Warung Angkringan di Jalan Kebayoran Lama tepatnya sebelah selatan perempatan Jalan Panjang dengan Jalan Kebayoran Lama. Untuk apa sore menjelang magrib blusukan ke tempat ini? Ya....untuk menikmati sensasi warung angkringan yang terbilang langka ada di Ibukota Jakarta ini.
Boleh jadi warung angkringan langka ada di Jakarta ada benarnya. Lalu dagangan apa yang dijual di warung angkringan ini? " Sego kucing beserta lauk pauk ikan teri, bandeng dengan secuil sambal terasi ada di dalam bungkusan kecil itu," kata Mas Sutrimo pemilik warung angkringan sambil mempersilahkan sehat dengan inti intinya reiki duduk di bangku panjang di bawah temaramnya lampu 25 watt yang mulai menerangi dagangan di bawah atap terpal sebagai pelindung dari air hujan yang masih saja turun sejak sore.
Sambil mencicipi sego kucing khas jogja atau solo dengan bakwan goreng, kami berbincang soal warung angkringan yang mulai marak ada di Jakarta. "Nanti malam kalau Mbak pulang kerja, coba saja mampir ke warung angkringan lain yang juga berjualan di depan Kantor Indopos masih di Jalan Kebayoran Lama ini. Warung milik sahabat saya itu tutup sekitar jam 2 dinihari, " kata Mas Trimo menjelaskan. Menu yang disajikan di warung angkringan milik teman saya juga sama dengan menu yang ada di sini. Ada kopi panas, wedang jahe, air jeruk panas atau dingin, susu panas dan teh manis. Sebagai pelengkap makanan khas sego kucing ada sate telur puyuh, sate usus, bakmi mini, tahu goreng, tahu tempe bacem, kerupuk gendar dan tentu saja jadah yang bisa dipanaskan dalam bara api dari areng bakar. " Pokoknya sebisa mungkin dagangan yang ada ini saya adopsi persis dengan dagangan yang pernah saya jual di desa saya dulu," kata Mas Trimo menerangkan asal muasal dagangannya ini.
Boleh jadi kalau di kota asalnya Klaten, Solo bahkan Jogja warung angkringan yang dulu disebut dengan nangkring duduk santai sambil kaki diangkat sebelah, menyeruput kopi dan jahe panas perlahan tapi pasti sudah mendapat tempat di kalangan penggemar warung angkringan di Jakarta ini. Merujuk kepada sejarah adanya warung angkringan di Jogja sekitar tahun 1950 para pembeli hanya terbatas pada buruh angkut dagangan pasar, sais dokar, supir becak kini warung angkringan sudah mendapat tempat di hati pelanggannya mulai dari Pejabat Pemda, Mahasiswa, Eksekutip Muda hingga Pegawai Kantor Pemerintahan kota Jogja atau Solo, kata Mas Trimo menjelaskan seputar perkembangan warung angkringan yang ada di Klaten, Jogja dan Solo saat ini.
Berasal dari kata angkring atau nangkring yang dalam bahasa Jawa berarti duduk santai. Konsep warung ini berbentuk gerobak yang atasnya dilapisi dengan terpal atau tenda plastik. Ciri khas lainnya adalah warung makan Angkringan ini mulai beroperasi mulai siang hingga subuh dini hari. Ketika saya tanyakan kenapa mengadu nasib berjualan di Jakarta kendati pun pelanggannya belum tentu cocok dengan selera warung angkringan ini? " Saya terpaksa meninggalkan kampung halaman di Desa Cawas Klaten sejak 2 tahun lalu setelah gempa bumi hebat menggoncang Jogja dan sekitarnya. Sabtu subuh sekitar pukul empat pagi saya menutup warung angkringan lalu pulang ke rumah. Pukul 5 pagi isteri dan kedua anak saya sudah bangun. Saya sendiri baru bisa tidur sekitar jam setengah enam pagi. Itu pun tidur-tidur ayam. Mendadak bumi bergoncang hebat lalu dinding rumah roboh dan atap genting rontok dengan bunyi gemuruh memekakkan telinga," urai Mas Trimo sambil memperagakan bagaimana dia menyelamatkan diri dengan berlindung di bawah meja ketika lemari rumahnya roboh menimpanya. Gempa bumi hebat di pagi itu juga telah meyelamatkan isteri dan kedua puteranya karena pada saat bumi bergoncang keluarganya ada di halaman siap mengantarkan kedua anaknya pergi ke sekolah.
Sejak Desa Cawas Klaten porak poranda karena gempa Mas Trimo berhenti berjualan warung angkringan ini. Dia sibuk membenahi bangunan rumahnya dan kini sudah selesai pembangunannya. Untuk menghilangkan trauma karena gempa, dia bertekad mengadu nasi ke Jakarta dan meneruskan profesi lamanya sebagai penjual warung angkringan yang sudah 2 tahun ini dijalaninya di Jakarta. Berbekal ketrampilan berjualan warung angkringan sebelumnya, akhirnya pelan tapi pasti warung angkringan Mas Trimo sudah mendapatkan tempat di hati pelanggannya yang rata-rata kaum pendatang dari Jawa.
Seperti sore hari itu salah seorang pelanggan setia warung Mas Trimo adalah supir taxi yang sengaja memesan sego kucing dan wedang jahe panas manis. Sambil bercakap dalam bahasa Jawa, saya perhatikan gerak-gerik Pak Supir ini menyantap sego kucing. Sambil sesekali mencomot sate telur puyuh dan bakwan goreng Pak Supir begitu lahap makannya. Sambil glegekan dia menyeruput kopi panas sambil menghisap sebatang rokok. Tampaknya sensasi makan di warung angkringan Jakarta ini boleh jadi mirip dengan yang ada di Jogja. " Hanya saja pelanggan setia warung angkringan Jakarta ini tidak ada lagi sopir becak yang datang. Maklum sekarang becak sudah tidak boleh beroperasi lagi. Yang ada adalah tukang ojek saja berdatangan ke sini," ujar Mas Trimo lirih sambil menghitung jumlah uang yang harus sehat dengan inti intinya reiki bayar untuk secangkir wedang jahe panas manis, bakwan goreng dan sebungkus sego kucing dengan secuil sambal teri bandeng goreng. "Empat ribu lima ratus rupiah saja Mbak?" sapa Mas Trimo ramah sambil merapikan piring dan gelas di atas meja. " Matur nuwun sanget sampun kerso rawuh mriki?, katanya. " Sami-sami", jawab saya. Lamat-lamat Azan Maghrib untuk Ibukota berkumandang dan sehat dengan intinya inti reiki segera pamit menuju kantor yang berjarak hanya 1 km dari Warung Angkringan Soetrimo ini.
iya mas, sampe gak bisa dibedakan mana penjual mana pembeli