Paska gempa Haiti beberapa waktu lalu pemuja Voodoo di Haiti merasakan tekanan yang bertubi-tubi dari sebagian penganut Kristen-Evangelis Adven Hari Ketujuh sebagai penyebab kemarahan Tuhan yang mendatangkan bencana gempa bumi hebat yang menewaskan ribuan orang warga Haiti. " Mereka mengatakan bahwa kami adalah yang menyebabkan gempa bumi itu. Kami tahu bahwa kami tidak menyebabkan gempa bumi karena hal ini adalah bencana alam," kata Willer Jassaint, salah seorang pendeta atau houngan yang memimpin upacara Voodoo.
Serangan menjadi semakin menjadi-jadi ketika sekelompok Evangelis Protestan menyerang sebuah upacara Voodoo di Cite Soleil dengan lemparan batu ke arah kelompok peserta upacara 23 Pebruari lalu. Max Beauvoir, pemimpin tertinggi Voodoo Haiti mengatakan kepada AFP dua hari kemudian bahwa bila kekerasan itu terus dilanjutkan akan menyebabkan perang terbuka antara pengikut Voodoo dengan penyerang itu.
Sejauh ini aksi penyerangan itu belum pernah terjadi. Namun di jalan-jalan dan di gereja-gereja yang penuh sesak di ibu kota Haiti, permusuhan pada pemuja Voodoo semakin terasa. Sebagian permasalahan dari adanya pemujaan Voodoo karena penganut setia ajaran ini adalah strata termiskin penduduk Haiti. Sebagian lagi karena masih adanya ketakutan yang ditimbulkan oleh penggunaan Voodoo oleh diktator paling terkenal Haiti, Francois " Papa Doc " Duvalier dan putranya, Jean Claude " Baby Doc " Duvalier, untuk menekan rakyat selama pemerintahan dari 1850-an sampai pertengahan 1980-an.
Saat ini Voodoo tetap merupakan sebuah agama resmi negara dan diperkirakan lebih dari setengah penduduk Haiti melakukan tradisi Voodoo yang kadang-kadang dicampur dengan agama Katolik. Di tempat berlangsungnya upacara, ketika tarian dan nyanyia doa mereda, para houngan mengumumkan rencana untuk mengadakan upacara serupa lebih banyak lagi di depan publik. Tujuannya tiada lain untuk pembebasan arwah yang telah meninggal dunia karena korban gempa dan untuk keselamatan mereka sendiri. " Kami harus mempertahankan agama kami. Karena agama kami adalah jiwa kami, bagian dari diri kami sendiri, " ujar Jassaint.
Tengok saja sebuah upacara Voodoo di sebuah gang kecil Cite Soleil, sebuah kawasan kumuh Port-au-Prince yang telah hancur oleh gempa bumi (6/3). Di gubuk bobrok ini, upacara dilakukan dengan penuh semangat oleh pemuja Voodoo. Salah satu penari Voodoo , seorang wanita memutar-mutar lengannya. Matanya melotot lalu berjongkok dan segera mulutnya berkotek bagai ayam yang ketakutan disergap musang di malam hari. "Tok, tok, tok, petook!" teriaknya, sambil lengan kanannya tertekuk di depan tubuhnya.
Di sekitarnya para pemuja Voodoo menyaksikan gerakan wanita ini dan tidak terkejut dengan bunyi yang keluar dari mulutnya. Ketika upacara semakin mencapai titik klimaks, seseorang mengikatkan sebuah kain merah ke lengannya yang lalu berhenti bergetar. Dalam pandangan mereka, wanita itu telah kemasukan arwah orang mati, mungkin seorang dari 220.000 yang diperkirakan telah tewas dalam gempa Haiti Januari lalu. Kondisi ini disebut telah terbekati. Ketika wanita itu mengambil sebuah pisau berkarat lalu mengayunkan searah jarum jam memutar ruangan gubuk bobrok ini sambil menenggak minuman keras rasi ceri langsung dari botolnya, orang-orang yang berkerumun di sekitarnya tidak menjauhkan diri.
Mereka malah memeluknya bahkan menciumnya yang dengan demikian pula telah terbekati semuanya. Kendati upacara di pojok sebuah gang Cite Soleil, kawasan kumuh Port-au-Prince yang hancur luluh karena gempa bumi dilakukan penuh semangat, para pengikut Voodoo tetap merasa terkepung. Para pengepung menganggap bahwa Voodoo sebagai bentuk politeisme Afrika Barat yang sampai ke Haiti bersama perdagangan budak tetap dianggap sebagai penyebab terjadinya gempa. Memang sulit dinalar kejadian ini bila dikaitkan dengan upacara Voodoo sebagai kemarahan Tuhan menyusul terjadinya gempa bumi hebat di Haiti.
Sumber : AFP/DI/Re-edit Kompas
0 komentar