Bekerja
di siang hari dalam balutan kabut Dataran Tinggi Dieng boleh jadi badan
terus menggigil kedinginan. Pasalnya kawasan dataran tinggi Dieng
dengan pesona Candi Pendowo Limo, Telaga Warna, Sumur Jala Tundo, dan
Kawah Sikidang merupakan kawasan wisata dataran tinggi dan cukup
terkenal di daerah Wonosobo dan Banjarnegara. Selain pemandangan alamnya
yang indah, senyum ramah warga di dataran tinggi Dieng selalu
menyambut setiap wisatawan yang datang berkunjung ke daerah ini.
Tak
terkecuali di saat penduduk desa mengadakan upacara potong rambut
gembel milik anak desa setempat, wisatawan selalu ditawari minuman khas
Dieng, yaitu sirup Papaya Carica. Juga disediakan mie rebus untuk
sekedar mengganjal perut di siang hari bolong dengan suhu 20 derajat
celcius saat itu. Kebetulan, saya dan rekan kerabat kerja televisi
berkesempatan hadir di daerah itu saat liputan film dokumenter Anak
Rambut Gembel.
Oleh
panitia yang menyambut rombongan, setelah acara selesai sore hari,
rombongan akan diinapkan di rumah penduduk malam harinya. Namun karena
suhu dingin luar biasa malam hari di kawasan Dataran Tinggi Dieng,
membuat sebagian rombongan tak tahan dengan udara dingin. Malam hari
kami memutuskan menginap di Wonosobo yang berjarak 25 kilometer dari
Dataran Tinggi Dieng.
Dalam
perjalanan turun meninggalkan Dataran Tinggi Dieng, yang ada dalam
ingatan adalah mencari makanan mengenyangkan yang jadi ciri khas warga
Wonosobo, yaitu Mi Ongklok juga Tempe Kemul. Kebetulan kedua makanan
khas itu mudah ditemui di dalam kota Wonosobo. Malam hari di keheningan
kota Wonosobo sepiring Mie Ongklok sudah bisa menghalau hawa dingin
yang menyerang tubuh.
Maklum
Wonosobo termasuk daerah dataran tinggi dengan luas daerah 984.68
kilometer persegi, selalu berhawa dingin baik di siang maupun malam
hari. Di kota inilah kuliner penghangat tubuh mendapatkan tempat
tersendiri bagi warga kotanya, terlebih lagi bagi pendatang yang sekedar
mampir sebagai turis. Kuliner khas Wonosobo adalah Mie Ongklok
merupakan makanan khas Wonosobo sudah termasyur hingga ke berbagai kota
di Indonesia.
Kenapa
disebut mie ongklok ? Sebab, penggunaan ongklok saat membuat makanan
ini tak bisa ditinggalkan. Ongklok sendiri miturut keterangan Pak Udin
warga Desa Bomerto, adalah semacam keranjang kecil terbuat dari anyaman
bambu.
Keranjang
kecil ini digunakan untuk merebus mie. Alat bantu ini sudah jadi ciri
khas daerah setempat sehingga melekat pada mie saat direbus. Karena
itulah mie yang sedang direbus disebut mie ongklok sesuai dengan alat
bantu yang digunakan sang koki saat memasak mie, yaitu keranjang kecil
terbuat dari anyaman bambu.
Untuk
melihat detail mie ongklok, Bu Iyah, istri Pak Udin telah siap
menyajikan sepiring mie ongklok untuk tamunya. Di dapur telah tersedia
mi, sayuran kol segar yang mudah didapat di desa Jentrek, dan daun
kucai. Campuran bahan sederhana itu lalu disatukan dalam ongklok dan
dicelup-celupkan beberapa menit dalam air mendidih.
Mencelupkan
berulang kali mie dalam ongklok itulah yang jadi ciri khas mie ongklok
Wonosobo. Tentu saja mie ongklok ini terasa segar saat menyentuh lidah
yang sudah kelu karena tubuh terus menggigil kedinginan. Campuran ebi
yang menyertai dalam rebusan kuah mie menjadi kunci kesegaran sekaligus
kelezatan mie ongklok di mana kuah pada mie ongklok terlihat kental
dibandingkan dengan mie lain.
Agar
rasa mie ongklok tambah sedap, lebih bagus ditambah juga dengan bumbu
kacang. Kuah mie ongklok yang kental karena berasal dari campuran gula
jawa, ebi, dan tentu saja rempah. Rasa mie ongklok hangat semakin
mantap, dapat pula ditambah merica dan bawang goreng ditabur rata di
atas mie yang terhidang dalam piring.
Kuliner
khas Wonosobo ini bukan didominasi pemilik warung makan saja, akan
tetapi penduduk desa sekitar Wonosobo pun mampu memasaknya dengan baik,
dari cita rasa, juga cara penyajiannya. Berkunjung ke Wonosobo rasanya
kurang lengkap pula jika tak mencicipi sate sapi, tempe kemul, dan
geblek. Ketiga menu tambahan itu menjadi pelengkap penderita perut
lapar, di saat menunggu mie ongklok hangat siap dihidangkan.
Foto : Farida Trisna / Satyawinnie.
0 komentar