Ingat Lembah Bada ingat Poso yang pernah memunculkan konflik horizontal antar warga antara tahun 1998 hingga tahun 2005 lalu. Namun di Lembah Bada yang tenang jauh sebelum konflik Poso pecah, suasana rukun antar warga yang berbeda keyakinan pun sudah terbentuk lama sejak dulu. Bahkan sejak konflik Poso berlangsung, Lembah Bada menjadi satu-satunya tempat yang tidak tersentuh konflik.
Semua penduduk di sini bekerja apa adanya. Yang bertani tetap berkebun, mengolah sawah, bercocok tanam di ladang dan pekarangan rumah. Sedangkan yang pedagang pun pergi leluasa keluar Lembah Bada menjajakan barang dagangan. Pendulang biji emas pun tetap bekerja mencari bongkahan bijih emas di Sungai Leriang. Padahal jarak Lembah Bada ke Tentena sejauh 60 km yang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 1 jam, sangat rawan konflik jika ada pihak yang berusaha memprovokasi.
Akan tetapi kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Karena tidak tersentuh konflik Poso, maka tradisi menjaga kerukunan antar warga Lembah Bada pun patut ditiru dan dilestarikan semua warga. Di Lembah Bada berdiri Gereja dan Mesjid dalam satu kecamatan. Saat ada kebaktian di Gereja Gintu, ibukota kecamatan Lore Selatan, umat Nasrani melakukan ibadah di gereja dengan perasaan tenang. Demikian halnya dengan umat Islam saat azan berkumandang di mesjid, mereka berbondong-bondong melakukan sholat berjamaah khususnya sholat Mahgrib dan Isa berjamaah. Semua berjalan aman dalam suasana hidmat.
Ketika kerabat kerja dari Jakarta bermalam di desa Gintu beberapa tahun lalu, warga menyambutnya dengan gembira dan ingin melihat jalannya pengambilan film dokumenter yang akan dilaksanakan di desa itu esok harinya. Warga pun menyiapkan pakaian adat untuk dikenakan dalam pengambilan gambar. Dari Oma, Opa, remaja dan anak kecil akan didandani dengan pakaian adat, sambil menarikan tari Badero, tari tradisional warga Lembah Bada dalam menyambut tamu.
Selain adat yang mempererat persaudaraan, warga Lembah Bada pun mempunyai tradisi makan bersama dalam menyambut perayaan hari besar keagamaan. Misalnya acara perayaan Natal atau Lebaran, warga bergotong royong mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak bersama-sama. Saat hari besar keagamaan tiba, warga yang tidak merayakan akan datang ke warga yang merayakan sambil bersilaturahmi. Saling mengucapkan salam persaudaraan sudah menjadi tradisi warga di Lembah Bada di hari raya itu.
Saat upacara perkawinan, khitanan, akikah dan syukuran pembatisan di gereja, adat makan bersama pun tetap dilakukan. Acara ini menjadi ajang berkumpul dan senantiasa berlangsung dalam suasana akrab penuh rasa persaudaraan. Kebersamaan warga Lembah Bada bukan saja dalam hal urusan hari besar keagamaan. Acara kerja bakti, kedukaan dan rembug desa senantiasa dilakukan dalam forum musyawarah mufakat tanpa batas sekat perbedaan keyakinan.
Warga Lembah Bada telah dibekali ujaran nenek moyang yang terus dilestarikan generasi ke generasi. Warga memegang teguh istilah persaudaraan ( Pohalalu ), kebersamaan ( Kahimbali ) dan damai ( Modame ). Perbedaan sekalipun ada dan wajar terjadi dalam kelompok sosial di mana pun berada termasuk antar warga Lembah Bada sendiri, tidak pernah menjadi masalah berlarut-larut karena selalu diselesaikan dengan penuh persaudaraan. Warga Lembah Bada ingin Modame sepanjang jaman. Semoga damai adanya.
0 komentar