Hari
yang dinantikan pun tiba. Setelah mengudara selama 65 tahun Siaran
Radio Nederland Bahasa Indonesia resmi ditutup per 1 Juli 2012. Tentu
saja berita tidak mengenakkan ini menghentakan kuping semua pendengar
radio asing khususnya Radio Nederland setelah mendengar khabar buruk
tersebut. Pendengar siaran radio asing berbahasa Indonesia seperti BBC,
VOA, Radio Australia, Suara Jerman Deutsche Welle, Radio Philiphina,
Jepang dan Radio Nederland ( Ranesi ) sebenarnya cukup banyak di
Indonesia.
Akhirnya,
sesudah 65 tahun setia menemani pendengar dan pembaca, Radio Nederland
Siaran Indonesia dengan berat hati mohon diri. Kali ini untuk waktu tak
terbatas. Menandai berakhirnya era Ranesi, kami siapkan berbagai artikel
khusus tentang Ranesi, mitra, dan tentu saja pendengar.
Sebenarnya
berita akan ditutupnya Ranesi per Juli 2012 sudah saya ketahui saat
menonton siaran televisi Juni 2012. Melalui running tex yang ditayangkan
berulang-ulang, isyarat ini saya cermati bukan main-main. Dalam arti
keberadaan Ranesi yang sudah sejak tahun 1969 saya dengarkan siarannya
melalui gelombang pendek SW 11, bakal berakhir setelah berbagai upaya
penyelamatan dilakukan melalui lobi dengan kabinet Belanda gagal.
Penutupan
siaran Indonesia merupakan salah satu kemungkinan dan dampak
penghematan dana penyiaran RNW. Itulah alasan yang dikemukakan untuk
memperjelas lagi bahwa Ranesi sudah tidak bisa diperpanjang lagi
siarannya. Sekali pun ikatan saya dengan Ranesi secara resmi mulai
mengendur sejak saya pindah ke Jakarta di tahun 1976, era sebelumnya
saat masih di bangku sekolah menengah atas, Ranesi sudah saya kenal
dengan baik terbukti dengan banyaknya kiriman naskah ilmu pengetahuan,
kartupos permintaan lagu ke rumah saya di Solo, juga buku pelajaran
Bahasa Belanda.
Salah
satunya datang dari penyiar senior, Mas Suhendro Sosrosuwarno wong Solo
yang datang ke Belanda, lalu bergabung menjadi penyiar Ranesi lalu
membawakan tangga lagu-lagu sepekan. Karena seringnya saya
berkoresponden dengan beliau lewat surat dan kartupos, semua permintaan
lagu favorit saya
selalu direspon dengan baik. Dua lagu favorit saya itu adalah Missisipi
yang dinyanyikan oleh Pussy Cat dan Before The Next Tears Drops Fall
oleh Baldemar Huerta alias Freddy Fender.
Mas
Suhendro pun pernah saya kontak lewat telepon dan dengan senang hati
mengirimkan perangko terbitan Belanda ke alamat saya di Kayumanis
Jakarta Timur. Tatkala beliau cuti ke Jakarta, beliau diantar oleh Rekan
Edy Setiawan berkeliling Jakarta mampir ke restorant China di kawasan
Pecenongan. Bahkan photo-photo pribadi beliau bersama pendengar Ranesi
Jakarta di Taman Ria Senayan pun saya lihat lewat internet beberapa
tahun kemudian setelah beliau pensiun dari Ranesi dan kembali pulang
kampung ke Solo lagi.
Tatkala
berphoto ria di Taman Ria Senayan, beliau saya tanya lewat telepon,
kenapa tidak mampir ke kantor saya yang letaknya berdampingan dengan
danau Taman Ria Senayan, beliau menjawab dalam suratnya, " Kulo kawulo
alit, ajrih bade mampir dateng kantor-ipun Adik ingkang bangunan-ipun
ageng wonten tower televisi, dados mendel kemawon, " ujarnya dalam
bahasa Jawa kromo inggil. Begitulah cara Mas Hendro penyiar kawakan
merendahkan diri dengan pendengarnya, sekali pun secara fisik kita belum
pernah bertemu tatap muka.
Demikian
pula Ibu Sri Ardanari Soedji yang akrab dengan Ibu Soedji yang
membawakan Pelajaran Bahasa Belanda di era tahun 1974 dimana transkrip
isi siaran pelajaran itu diputar ulang pelajarannya lewat RRI Semarang
setiap minggu sekali, sudah saya kenal baik bagaimana cara beliau
membawakan pelajaran bahasa Belanda tersebut. Bahkan kepergian beliau
selama-lamanya karena usia sepuh, beritanya pun saya baca lewat situs
Ranesi juga. Akan halnya dengan penyiar senior Ranesi di era tahun 1960 -
1970 lainnya, satu per satu pensiun dan digantikan dengan penyiar baru,
beritanya tidak lagi saya ikuti karena kesempatan mendengarkan Ranesi
sudah tidak sempat lagi karena kesibukan kerja yang menyita waktu
seharian di kantor.
Itulah
profil dua penyiar Ranesi yang menyita perhatian saya untuk terus
memantau isi siaran sekali pun setelah era tahun 1980, penyiar senior
sudah pensiun dan digantikan oleh penyiar baru yang tidak saya kenal
lagi profilnya. Hanya Mbak Yanti Mualim saja yang masih ada dalam
ingatan saya tatkala di era tahun 1075 an, beliau sudah menjadi penyiar
Ranesi mendampingi penyiar senior seperti Paul Harmusial, Sam Pasaribu
dan Andolita Gindo Siregar yang di tahun 1974 mulai undur diri dari
penyiar Ranesi, pulang kampung ke Medan.
Prolog penutup situs pun dengan haru diungkapkan kepada pendengar dan pembaca internet yang bunyinya demikian, “Atas
nama segenap rekan Ranesi, saya mohon diri. Sampai jumpa di lain
kesempatan,” begitu kami biasa pamit pada akhir siaran. Namun tidak lama
lagi, kalimat di atas tidak dapat kami ucapkan."
Kabinet
Belanda memotong anggaran Radio Nederland Wereldomroep sebesar 70% dan
menugaskan organisasi penyiaran ini memfokuskan kegiatan hanya pada
negara-negara tanpa kebebasan pers. Menurut indeks Freedom House,
Indonesia termasuk negara-negara yang sudah mengenal kebebasan pers,
walaupun terbatas.
Dengan
demikian, baik siaran maupun situs Ranesi dihentikan. Itulah cara awak
Ranesi berpamitan dalam suasana haru kepada pendengar setianya di tanah
air juga kepada pembaca situs Ranesi. Mereka berujar, " Tabik, Tot
Ziens dan Sampai Jumpa ".
0 komentar