Masih menyinggung seputar batik pesisir tepatnya batik Pekalongan, ada baiknya sehat dengan kundalini reiki perkenalkan salah satu karya anak bangsa yang merupakan pusaka warisan leluhur yaitu Batik Cap, Motif Truntum, Batik Jlamprang dan Batik tiga Negeri. Tak beda dengan batik gaya Solo, Jogja, Lasem, Cirebon, batik Pekalongan sendiri ada juga yang dibuat dengan Cap. Memang sebelumnya batik di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan jamannya yang dimulai dengan Batik Tulis yang dikerjakan oleh pembatik wanita dengan menggunakan Canting.
Canting diisi malam cair warna coklat tua lalu digoreskan ke kain putih mengikuti pola yang telah digambar oleh Tukang Gambar yang diistilahkan Tukang Nyoret. Goresan canting ini digerakkan oleh tangan pembatik wanita. Begitu halusnya goresan canting berisi malam atau lilin ini, mengingatkan keluarga sehat dengan kundalini reiki sendiri yang juga bekerja sebagai buruh batik. Bahkan di kala senggang saat itu, Ibu, Bude, Pakde bahkan Kakek dan Nenek selalu membatik dan mencap kain batik di malam hari tatkala anak-anaknya sudah tidur semua.
Dalam perkembangannya setelah ada canting lalu pembatik juga menggunakan cap. Cap di sini disebut canting cap merupakan alat berbentuk stempel yang digambar pola batik misal pola burung Hong, suluran daun dan ranting, bunga , bintang dan bola. Umumnya pola canting cap dibentuk dari bahan dasar tembaga tetapi ada juga yang dikombinasikan dengan besi.
Melalui cap ini pembatik bisa menghemat tenaga dan tidak perlu menggambar pola atau desain di atas kain putih. Pola pada cap terbuat tembaga ini di desain oleh tukang pembuat cap. Mereka biasa menggambar pola batik di selembar kertas minyak putih lalu menuangkan kreasinya ini dalam sebuah cap batik.
Batik cap lalu mengalami perkembangan dengan diperkenalkan Cap Kayu terbuat dari kayu, ringan dijinjing lebih ekonomis serta mudah pembuatannya. Pola pada kayu ini diukir dan dibentuk seperti stempel pada cap tembaga. Hanya saja cap kayu ini tidak menghantarkan panas maka lilin (malam) yang menempel pada kayu lebih tipis dan hasil capnya sendiri di kain putih terlihat ada gradasi warna pada pola antara pinggir motif dan tengahnya. Sebaliknya cap tembaga lilinnya meresap ke serat kain sehingga polanya tercetak sangat tebal.
Mengunjungi sentra Batik Pekalongan ada baiknya kita perkenalkan juga motip Truntum yang merupakan simbol cinta yang bersemi kembali. Alkisah motif trumtum ini diciptakan oleh Seorang Ratu Keraton Yogyakarta. Sang Ratu yang dicintai dan dimanja oleh Raja suatu saat dilupakan oleh Raja yang telah mempunyai kekasih baru.
Untuk menghilangkan kesedihan sambil mengisi waktu senggangnya, Ratu pun mulai membatik. Tanpa disadari karena galaunya pikiran Sang Ratu membuat motif berbentuk bintang-bintang di langit tinggi yang kelam. Sekelam perasaan Sang ratu saat itu yang hidup dalam kesendirian karena Sang Raja telah berpaling dari padanya.
Ketekunan Ratu dalam membatik akhirnya menarik perhatian Raja yang kemudian kembali mendekati Ratu untuk melihat proses membuat batik ini. Sejak saat itu Raja mulai memantau perkembangan pembatikan Sang Ratu, akhirnya sedikit demi sedikit kasih sayang Raja pun bersemi kembali di hati Sang Ratu. Motif batik Sang Ratu ketika menggoreskan cantingnya disebut motif Tum-tum kembali yang merupakan perwujudan lambang cinta Sang Raja yang bersemi kembali kepada Sang Ratu.
Kalau Anda sedang galau karena ada Pil/wil dalam kehidupan rumah tangga Anda sebaiknya meniru resep Sang Ratu ini yaitu membatik menorehkan pola Tum-Tum pada kain putih dengan harapan pasangan hidup akan kembali lagi ke pelukan Anda. Siapa tahu? Anda yang berminat belajar membatik bisa mengambil kursus membatik di Kampung Batik Laweyan Solo.
Motif Jlamprang di Jogja disebut Nitik. Motif ini begitu populer di Pekalongan yang diproduksi di daerah Krapyak Pekalongan. Batik ini merupakan perkembangan kain Potala dari India berbentuk geometris. Terkadang motif ini berbentuk bintang atau arah mata angin dan menggunakan ranting yang ujungnya berbentuk segi empat. Batik Jlamprang ini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Pekalongan.
Motif Batik Tiga Negeri merupakan gabungan batik khas Lasem, Pekalongan dan Solo. Pada saat pendudukan penjajah kolonial Belanda di lanjutkan Jepang setiap wilayah industri batik memiliki otonomi sendiri dan disebut Negeri. Perpaduan motif batik khas daerah masing-masing ini masih terlihat wajar bahkan biasa, tetapi yang membuat batik ini memiliki nilai seni tinggi adalah proses pembuatannya.
Menurut para pembatik yang sudah berpengalaman menyimpulkan bahwa air tanah di setiap daerah sentra industri batik memiliki pengaruh besar terhadap pewarnaan batik. Ini wajar mengingat kandungan mineral air tanah berbeda menurut letak geografisnya. Daerah Pesisir seperti Lasem, Pekalongan dan Cirebon berbeda dengan daerah pedalaman Jogja dan Solo. Karena perbedaan air tanah ini maka dibuatlah batik sesuai dengan lokasi pabriknya. Di Lasem batik dibuat dengan warna khasnya seperti merah darah, setelah itu kain batik dibawa ke Pekalongan dan dibatik dengan warna biru, terakhir kain batik diwarnai coklat sogan warna khas batik gaya Solo.
Mengingat sarana transportasi zaman dulu tidak sebaik sekarang, maka Kain Batik Tiga Negeri dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece batik. Nama Batik tiga Negeri ini diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Sentra Kampung Batik Laweyan Solo. Jalan ini membentang dari utara ke selatan dan berakhir di Jembatan Kali Jenes Masjid Laweyan Solo. Mengingat batik merupakan aset penting sebagai karya asli Bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita ikut melestarikan dan merawatnya dengan baik. Karena pentingnya batik sebagai identitas bangsa produk dalam negeri Indonesia,"Apakah Anda merasa bangga jika memakai batik sebagai busana kerja, santai dan pergi pesta undangan perkawinan di mana batik yang dikenakan merupakan karya adiluhung Bangsa Indonesia dan bukan bangsa lain? "
0 komentar