Selama dua hari....sehat dengan kundalini kembali mampir ke kampung halaman setelah melakukan perjalanan dinas ke luar Jakarta. Tidak banyak perubahan yang terjadi di kota kecil ku, kota Solo yang tenteram, tenang sangat adem ayem sebagai kota untuk hening sejenak istirahat setelah melakukan perjalanan jauh ke luar kota. Hanya saja sekarang ini banyak angkutan ojek sepeda motor mulai beroperasi di kota ini menemani angkutan becak yang menjadi ciri khas kota Solo.
Dengan naik becak itulah saya mengulang memori indah Rabu sore 8 Juni 2011 di saat melakukan perjalanan menuju stasiun kereta api Solo Balapan seperti peristiwa dua tahun lalu dengan pengemudi becak yang sama yaitu Mas Rubiman. Bedanya cuaca kota Solo kemaren sore cukup cerah dimana matahari menyemburatkan sinar merah lembayung senja menyongsong Solo menjelang malam hari. Di kanan kiri jalan yang kami lewati, penjual angkringan khas kota Solo sudah mulai menjajakan dagangannya. Penjual dengan gerobak khas itu oleh wong Solo menyebutnya sebagai warung hik atau warung angkringan yang menjual wedang jahe, nasi kucing dan makanan ringan lainnya selain minuman air jeruk, kopi dan teh manis.
Awal tahun 7 Januari 2009 saat itu udara kota Solo tidak bersabat. Pagi hari matahari bersinar sampai waktu Lohor saja. Selepas itu hingga petang hari cuaca yang pagi cerah berubah menjadi mendung dengan awan hitam mengantung di atas kota. Menjelang Waktu Asar tiba sebuah alat transportasi khas kota Solo parkir di depan rumah hidup sehat dengan reiki di Kampung Klaseman, sebuah kampung yang masuk kawasan Kampung Batik Laweyan Solo Barat.
Ketika Mas Tukang Becak datang hujan sedang deras-derasnya turun di sore itu. Saya ajak Mas ini untuk masuk rumahku dan saya persilakan menunggu sebentar. Mengingat hujan semakin deras turunnya Mas tukang becak ini menyelimuti becaknya dengan terpal tebal agar tempat duduk jok becaknya tidak basah. Akhirnya hujan sedikit reda dan saya putuskan untuk segera berangkat ke Stasiun Kereta Api Solo Balapan dengan menumpang becak ini.
Kendatipun ada angkutan taxi, ojek sepeda motor juga motor milik kerabat, saya lebih nyaman naik becak ini. Ya..., kenyamanan naik becak ini memang sudah biasa saya rasakan manakala saya pulang kampung ke Solo. Bahkan keluargaku pun sudah akrab dengan Mas Tukang Becak ini. Kendati pun saya sudah meninggalkan kota Solo sejak 1976 sampai sekarang ini pun Mas ini masih tetap dengan profesi lamanya, pengayuh becak.
Angkutan murah, tidak bising, bebas polusi ini memang sudah akrab dengannya sejak tahun 1974. Jadi kalau dihitung-hitung sudah hampir 37 tahun Mas ini mengayuh becak untuk mencari sesuap nasi buat menghidupi keluarganya. Siapakah Mas ini? Dialah sahabat kecil saya ketika kami masih sama-sama duduk di sekolah dasar (sr) 6 tahun dulu. Seiring berputarnya roda becak menapaki jalan beraspal kota Solo yang basah karena hujan sore itu, berputar pula ingatan saya ke belakang ke masa kanak-kanak lalu remaja. Saat itu kami biasa bermain bersama-sama dengan teman-teman sekampung termasuk juga dengan Mas Rubiman pemilik becak yang sedang saya tumpangi ini.
Tahun 1962 Koes Bersaudara mulai meluncurkan hit pertamanya yang lagu-lagunya populer di kala itu seperti lagu Bis Sekolah, Telaga Sunyi, Dewi Rindu dan Angin Laut, Mas Rubiman sudah fasih menyanyikan lagu-lagu Koes Bersaudara ini. Bersama teman-teman sekampung pula kami biasa lek-lekan ( gaya orang Solo ketika malam bulan purnama tiba) dengan tidur agak larut malam. Waktu itu bermain bersama anak laki-laki dan perempuan di malam hari sudah biasa. Tidak saru kata wong Solo untuk menegaskan bahwa hubungan pertemanan antara anak remaja laki-laki dan perempuan adalah wajar di saat masih kanak-kanak. Mas Rubiman pulalah yang memberi tahu kepada kami agar nanti malam kita ngelar kloso ( menggelar tikar ) di halaman sambil bernyanyi lagu Koes Bersaudara.
Ketika desa tetangga sukses panen padi dan mengadakan syukuran dengan menggelar hiburan wayang kulit dan ketoprak, Mas Rubiman pula yang mengajak saya beserta teman-teman lainnya untuk menonton pertunjukan itu. Jangan ditanya suasana desa tetangga saat itu kondisinya. Tahun 1965 Desa Banaran, Cemani dan Jati belum ada listrik. Masih gelap gulita. Dalam kegelapan malam itulah kami membawa obor menyusuri pematang sawah untuk mencapai lapangan desa tempat hiburan rakyat itu digelar. Dan Mas Rubiman pulalah yang memandu kami agar hati-hati meniti pematang sawah yang licin.
Di hari Minggu adalah hari libur sekolah. Agenda hari itu adalah mengunjungi stasiun kereta api Purwosari yang terletak di Solo Barat. Bersama Mas Rubiman pulalah kami menumpang kereta api uap ke Stasiun Ceper di Klaten. Sampai di Stasiun Ceper kami bermain di stasiun sambil menungu kereta api uap balik lagi ke Solo. Tahun 1964 kereta api dengan lokomotip uap merupakan angkutan rakyat yang melayani trayek Solo ke Jatinegara Jakarta dengan singgah di Jogja.
Bahkan ketika Bengawan Solo meluap dan membanjiri Solo tahun 1966 kami teman-teman sekampung bersama mas Rubiman melintasi banjir yang menggenangi Jalan Gatot Subroto dari Perempatan Pasar Singosaren menuju Perempatan Pasar Pon. Tidak ada rasa takut sama sekali, maklum saat itu anak-anak seusiaku sudah biasa mandi air Kali Jenes yang melewati kampungku. Jadi ketika banjir besar yang menenggelamkan 2/3 kota Solo itu aku dan teman-temanku termasuk Mas Rubiman bermain air banjir pula di tengah kota.
"Ketika sampeyan ke Jakarta dan teman-teman seusia kita pada merantau ke luar kota Solo aku tetap mengayuh becak. Ya, mau kerja apalagi kalau profesi ini yang bisa aku jalani. Tahun 1976 sampeyan ke Jakarta, aku bersama teman sekampung lain bekerja membatik dengan upah tak seberapa di samping ya...tetap mengayuh becak ini," kata Mas Rubiman seakan-akan menegaskan bahwa profesi tukang becak adalah pekerjaan mulia.
Memang ketika saudagar batik di kampungku membutuhkan tenaga buruh lepas untuk menolet ( memberi warna) pada kain putih sebelum dicap, Mas rubiman pula yang mengajakku bekerja paruh waktu. Pagi sekolah siang hari menolet di pabrik batik. Malamnya nonton televisi di rumah saudagar batik itu sambil membantu melipat tumpukan kain batik di gandoknya ( rumah samping ), sebelum diizinkan masuk ke Pendoponya untuk menonton televisi hitam putih yang menyajikan hiburan lepas senja dengan sajian lagu-lagu yang dinyanyikan Mbak Teti Kadi dengan iringan Ariyanto dari TVRI Jakarta dan hiburan Wayang Orang dan Ketoprak dari TVRI Jogjakarta.
"Aku tidak minder kok mengayuh becak ini. Inilah jalan untuk aku mengais rejeki Tuhan. Setiap hari dengan tetesan keringat aku kumpulkan rejeki ini untuk biaya sekolah anakku juga menghidupi anak biniku," masih kata Mas Rubiman sambil mengarahkan laju becaknya memasuki Stasiun Kereta Api Solo Balapan. "Betul Mas, tidak usah minder semua pekerjaan mulia asalkan kita tekuni dengan baik, jujur dan mengutamakan keselamatan penumpang," jawab saya menghibur Mas Rubiman.
Mumpung jadwal kereta masih lama dan Mas Rubiman tidak sedang dicharter orang, hidup sehat dengan reiki mengajak mampir ke warung nasi tumpang seberang stasiun kereta api. Nasi tumpang, tempe goreng, ayam goreng, empal daging dengan air teh manis menemani santap senja. Inilah makanan khas Solo. Di warung inilah kami membaur bersama tukang becak lainnya menikmati sajian makanan yang dipincuk sambil saling mengingat-ingat kejadian di kala kanak-kanak dulu.
Ingatan Mas Rubiman sungguh tajam. Ibaratnya tape recorder semua kejadian di masa silam masih diingatnya dan diceritakan kembali. Saya mengiyakan karena memang saya terlibat kejadian itu bersama Mas Rubiman. Kebersamaan ini sungguh berkesan di sore itu. Ketika pengeras suara stasiun kereta api mengumumkan bahwa jadwal kereta api tujuan Jakarta yang akan hidup sehat dengan reiki naiki tinggal 30 menit lagi berangkat, Mas Rubiman pamit dan saya selipkan uang lelah sebesar 5 kali lipat upah normalnya. Mas Rubiman terkejut..dan mengucapkan, " Matur nuwun sugeng tindak Mbak, mbenjing kepanggih malih, matur nuwun sanget," katanya seraya membungkukkan badannya. Artinya ....terima kasih selamat jalan Mbak, esok ketemu lagi, terima kasih banyak.
Saat itu aku tatap gerak laju becaknya keluar halaman Stasiun Kereta Api Solo Balapan. Begitu tegar kokoh berhati lembur sahabat kecilku ini. Sudah 37 tahun
keringat membasahi tubuhnya yang kekar sebagai pengayuh becak tapi Mas Rubiman tetap rendah hati. Hidup sehat dengan reiki hanya bisa mendoakan semoga Tuhan memberikan kesehatan jasmani kepadamu dalam menggeluti profesi ini. Selamat jalan Mas Rubiman Insya Allah saya datang ke Solo lagi. Masih banyak cerita masa remaja yang belum engkau tuturkan kali ini.
Foto Tukang Becak karya Mahwari Sadewa Jahutama.
0 komentar