Berkendara melewati tikungan tajam di mana kanan dan kiri jalan terbentang tebing terjal dan sesekali di samping jalan terbentang jurang dalam akhirnya sampai juga perjalanan kami menuju perkampungan tradisional di Tataran Tanah Sunda. Dari jauh kampung yang terletak di lembah terlihat asri di antara hijaunya dedaunan tanaman yang tumbuh lebat sepanjang perjalanan dari Tasikmalaya menuju Garut. Kita telah sampai di gerbang Kampung Naga.
Itulah ruang Kampung Naga di tepian sungai Ciwulan yang airnya jernih mengalir terlihat sesekali batu besar teronggok di tengah dan tepian sungai. Sawah menghijau terbentang sepanjang mata memandang begitu pula ladang tegalan terhampar dengan tanaman singkong, jagung, ketela rambat, pohon aren dan kelapa. Semuanya tumbuh subur. Daerah subur inilah yang menjadikan Kampung Naga sebuah kampung di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya yang menyimpan beragam pedoman hidup tradisional dan senantiasa menghormati kelestarian alam menjadi Kampung Adat yang terkenal hingga mancanegara.
- Hamparan kolam ikan dan persawahan mengelilingi kampung adat Kampung Naga.
Bila sahabat sehat dengan reiki berkendara ke lokasi kampung adat ini mudah ditemui tempatnya. Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Tasikmalaya dan 26 kilometer dari Kota Garut, Kampung Naga ada di tepi tebing menjorok. Ucapan selamat datang dengan minuman pembuka semacam legen atau air kelapa muda akan ditawarkan kepada tamu baik perorangan atau rombongan. "Selamat datang di Kampung Naga," begitulah ucapan Mang Ajab warga setempat menyambut kedatangan rombongan sehat dengan reiki dan kerabat kerja yang datang dari Jakarta Selasa siang kemaren.
- Kerajinan tas, tikar mendong, besek,tampah ikut mendorong kegiatan warga Kampung Naga berkreasi mencari penghasilan buat mendukung keuangan rumah tangga warga Kampung Naga.
"Wilayah ini seluas 1.5 hektar dengan batas wilayah sebelah timur dan utara mengalir Sungai Ciwulan, sebelah barat hutan keramat yang terdapat makam leluhur dan di selatan terbentang sawah-sawah penduduk. Jumlah bangunan adat 112 buah berbentuk semi permanen dengan 109 kepala keluarga. Total jumlah penduduk yang berdiam saat ini ada sekitar 314 orang," ucap Mang Dikin warga asli setempat yang menemani rombongan sehat dengan reiki siang itu. Kampung itu menjadi satu kampung adat dari sekian kampung adat yang ada di Indonesia dan masih memegang teguh nilai-nilai adat dan peraturan leluhur.
- Saung tempat bersantai tatkala melepas lelah sehabis menaburkan jala ke kolam ikan di bawahnya.
Berbeda dengan wilayah perkotaan yang penuh dengan produk kapitalisme yang menyodorkan gaya hidup mewah penuh hura-hura dengan tingkat konsumsi barang dagangan berbagai merek yang serba mahal, Kampung Naga dibalut penuh kesahajaan dan kearifan lokal dalam bingkai tradisional yang mengedepankan gotong royong di antara penduduknya. Belum ada fakta sejarah yang bisa memberi petunjuk siapa dan dari mana asal nama Kampung Naga. Barangkali yang bisa menjawab adalah warisan budaya dan perilaku leluhur saja yang masih ditaati dan diikuti dalam kegiatan harian semua warga baik dalam upacara adat kematian, perkawinan, kelahiran bayi, bercocok tanam dan mengambil tanaman untuk keperluan membangun rumah.
- Kolam tempat menabur benih ikan mas,koki, nilam dan mujair. Setiap penduduk Kampung Naga rata-rata mempunyai kolam ikan yang tersebar di sekitar tempat tinggalnya.
"Hutan adat sebelah timur itu pamali diambil kayunya. Jangankan kayu ranting yang jatuh ke tanah tidak boleh diambil. Untuk kayu bakar dan kebutuhan lainnya, warga rela membeli ke warung daripada mengambil di hutan larangan. Pamali kalau dilanggar dan menimbulkan bahaya," ujar Mang Dikin menerangkan lebih lanjut tentang hal-hal yang harus dihindari warga Kampung Naga. Secara administratif bentuk kepemimpinan Kampung Naga ada dua, yaitu formal dan informal. Bagian formal mereka mengenal RT, RW dan Kadus. Sedangkan informal khususnya tata aturan yang diterapkan secara adat menyerahkan urusan ini kepada kuncen, lebe dan punduh.
- Salah satu sudut gang yang terletak di antara jajaran rumah adat Kampung Naga. Semua struktur bangunan dibuat sama beratap ijuk berdinding anyaman bambu.
Di Kampung Naga semua penduduk terlihat bersahaja ketika mereka bergotong royong membangun rumah, menebarkan kail ke kolam kecil di pinggir sawah. Untuk kebutuhan primer seperti makan sehari-hari, hasil sawah dan ladang sudah cukup menghidupi setiap kepala keluarga. Papan sederhana untuk berteduh dari tempaan sinar matahari dan derasnya air hujan sudah cukup membuat mereka nyaman tinggal dalam hidup keseharian. Untuk sandang pun mereka tidak bermewah-mewah kendati uang cukup untuk membeli kebutuhan primer ini. Yang mereka butuhkan adalah alat pertanian untuk mengolah sawah dan ladang.
- Tangga berundak menurun menuju lokasi Kampung Naga. Sekarang sudah disemen untuk memudahkan pengunjung mencapai lokasi Kampung Naga.
Dari hasil bertani mereka bisa mendapatkan 4 kuintal per kepala keluarga dalam setiap kali panen selama 6 bulan sekali. Jumlah ini sudah lebih cukup untuk konsumsi harian dan bekal untuk menanti panen berikutnya. Kegiatan lain dari warga saat ini adalah menganyam tikar, tas untuk dijual keluar Kampung Naga. Daerah pemasaran pun sampai ke Tasikmalaya. Aneka macam kerajinan yang dihasilkan warga juga dibawa pemborong ke beberapa kota seperti Garut dan Tasikmalaya. Sebagai kampung yang telah digandrungi sebagai objek wisata, hasil kerajinan seperti tikar tidak kalah menarik mutunya dibanding dengan kerajinan tikar mendong Tasikmalaya.
Sebagai kampung adat barangkali Anda mengira kampung ini dikungkung adat ketat dalam segala hal yang menandakan keterbelakangan. Banyak yang mengatakan warga Kampung Naga miskin informasi. Dugaan Anda salah, saat ini banyak warga memiliki telepon seluler dan pesawat televisi. Semua ini dibutuhkan untuk hiburan semata agar tidak ketinggalan informasi dari kampung lain di luar Kampung Naga. Mereka tetap mengikuti tren mengingat kaum mudanya banyak yang bersekolah di luar Kampung Naga seperti Bandung, Tasikmalaya dan Garut. Kaum muda inilah yang membawa perubahan dalam hal komunikasi yang tidak bisa dibendung lagi dan hadir di Kesunyian Kampung Naga.
- Seorang warga duduk santai menanti kedatangan tamu. Segelas air hijau kelapa muda sudah cukup menghilangkan lelah setelah menuruni anak tangga berliku.
"Informasi baru ini boleh masuk Kampung Naga selama tidak melanggar adat. Hanya listrik yang tidak boleh masuk kampung ini. Untuk menyalakan televisi warga menggunakan aki," ujar Mang Ajab lebih lanjut . Maum sesepuh atau Punduh Kampung Naga menyebutkan, kedatangan wisatawan selain memberi keuntungan materi bagi Kampung Naga juga memberikan informasi. Pendatang ini dengan sendirinya akan menceritakan perihal Kampung Naga selepas dia pulang ke kampungnya. Dengan cara ini maka silaturahmi akan tetap terjalin kendati pun mereka datang hanya sekali saja ke kampung ini.
"Saat mereka berkunjung ke kampung sini dan tidak melanggar adat yang kami tetapkan, kami akan menerima kunjungannya dengan senang hati. Selama ini mereka taat dan tidak pernah melanggar aturan adat," jelas Maum lebih lanjut. Sejauh ini sudah banyak warga yang merantau dan bekerja di luar daerah. Karena aturan adat yang membolehkan warga hanya punya lahan pertanian 1.5 hektar, mereka yang menikah dan butuh rumah terpaksa tinggal di luar Kampung Naga. Kendati pun berada di luar Kampung Naga, warga ini akan datang kembali sewaktu-waktu kampung ini menyelenggarakan upacara adat.
- Kampung Naga terlihat dari kejauhan. Pemandangan alam hijau menyejukkan mata begitu tiba di areal pemukiman Kampung Naga.
Ketika gempa bumi melanda Tasikmalaya beberapa waktu lalu, rumah Kampung Naga tetap utuh berdiri tanpa retak sama sekali. "Waktu gempa terjadi warga malah masuk rumah. Rumah di sini memang didesain anti gempa mengingat pondasi rumah cukup kuat. Semua rumah di Kampung Naga menghadap ke Utara dan Selatan. Tujuan penataan rumah ini untuk menjalin relasi sosial antar tetangga. Untuk struktur bangunan berkonsep semi permanen dan menempel di tanah. Tujuan rumah model ini agar gampang dipindah dan juga menjaga ekologi dalam tanah. "Dengan tata pondasi semacam ini, rumah di sini terbukti aman dari goncangan gempa," kata Mang Ajab.
- Areal bermain anak di depan mushola Kampung Naga. Penduduk Kampung Naga selalu sholat berjamaah di mushola ini setiap waktu sholat tiba.
Di balik kebersahajaan hidup masyarakat Kampung Naga, kampung ini menyimpan berbagai peraturan yang belum boleh dijelaskan kepada orang lain. Istilahnya pamali. Setiap bulan Safar dan Ramadhan serta hari Selasa, Rabu dan Sabtu tidak boleh menceritakan sejarah tentang Kampung Naga. "Alasannya ya....itu tadi...pamali," kata Mang Soleh warga lain yang menyertai kunjungan melihat hutan larangan yang terlihat seram di siang hari. Yang mengagumkan hanya dengan satu kata pamali tanpa ada perundangan tertulis, warga Kampung Naga selalu siap taat pada aturan dan kebiasaan hidup nenek moyangnya yang diwariskan kepada penduduk secara turun temurun. Sayang keinginan mengorek sejarah Kampung Naga untuk bahan dokumentasi tidak terlaksana mengingat kami datang pada hari Selasa. "Sekali lagi menceritakan sejarah itu pamali, bisik Mang Dikin sambil mempersilahkan rombongan sehat dengan reiki santap siang di Saung Mang Wartam yang terletak sedikit menjauh dari lokasi Kampung Naga.
Foto by : Koswara Banten.