Anda ingin bahagia dan panjang usia? Jawabnya sederhana dan mudah. Nikmati hidup! Dan kalau perlu sesekali jangan melakukan apa pun. " Dolce far niente. The sweetness of doing nothing. Jangan meniru orang Amerika yang serba ambisius dan dikejar-kejar target."
Wejangan itu muncul dalam film Eat Pray Love yang dibintangi Julia Roberts ketika ia sedang berlibur ke Italia. Roberts memerankan Elizabeth Gilbert, penulis buku yang kisah pencariannya diangkat dalam film tadi. Film ini sempat amat ditunggu-tunggu penonton Indonesia itu karena, selain mengambil setting di Italia dan India, juga mengambil setting Bali.
Judul tulisan di atas ini diambil dari laporan utama majalah triwulanan Harvard Public Health Review edisi Winter 2011 sebagaimana ditulis Irwan Julianto dari Kompas dalam kolom laporan Iptek, Rabu 2/02/2011. Selanjutnya laporan itu menyatakan benarkah suasana hati yang sedang senang ( good moods ) adalah obat yang mujarab?
Dapatkah penampilan yang ceria membuat Anda jarang terserang penyakit jantung? Apakah harapan dan rasa ingin tahu melindungi kita dari hipertensi, diabetes dan infeksi saluran napas? Betulkah orang-orang yang lebih bahagia akan hidup lebih panjang umurnya dan jika demikian, mengapa? Itulah contoh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti yang mengeksplorasi bidang baru kesehatan masyarakat yang terkadang masih kontroversial semisal mendokumentasi dan memahami kaitan antara emosi positif dan kesehatan yang baik.
Sejauh ini sudah teramat banyak kepustakaan dan penelitian tentang bagaimana tentang bagaimana emosi negatif membahayakan tubuh kita. Amarah kronis dan kecemasan dapat mengganggu fungsi jantung dengan mengubah stabilitas elektrik jantung, mempercepat atherosklerosis ( penyumbatan pembuluh nadi ) dan meningkatkan peradangan ( inflamasi ) sistemik.
Menurut psikiater sosial dr. Nalini Muhdi SPKJ dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, memang banyak kepustakaan dan publikasi ilmiah tentang kaitan antara emosi negatif dan kesehatan. Salah satunya adalah buku teks psikiatri Psychosomatic Medicine yang ditulis Michale Blumenfield ( 2006 ) yang juga membahas kondisi mental-emosional yang meningkatkan penyakit serangan jantung.
Depressi misalnya dapat meningkatkan kadar C-reactive protein ( CRP ) dalam aliran darah yang berkaitan dengan inflamasi atau penggumpalan atau koagulasi darah. Amarah selain meningkatkan tekanan darah juga diidentifikasi sebagai salah satu pemicu yang paling lazim dan paling menentukan bagi munculnya myocardial ischemia ( berkurangnya suplai darah ke otot jantung ) dalam aktivitas harian.
Stress dan rasa waswas yang kronis dapat mempengaruhi sistem biologi dalam tubuh kita sedemikian rupa sehingga menjadi pemicu penyakit jantung, stroke dan diabetes. Penyebabnya karena orang yang mengalami stres serius terbukti mengalami peningkatan kadar kolesterol dan gula darah. Ini menurut dr. Nalini terbukti dari studi terhadap para pasien yang menghadapi operasi besar yang biasanya tegang dan cemas.
Untunglah Laura Kubzansky, guru besar Harvard School of Public Health ( HSPH ) menyatakan, "Emosi-emosi negatif hanyalah separuh dari persamaan. Tampaknya ada manfaat kesehatan mental yang positif yang membuat Anda tidak mengalami depresi. Apa itu? masih sebuah misteri. Namun jika kita memahami rangkaian proses yang terlibat, kita akan memiliki wawasan tentang bagaimana kesehatan bekerja."
VITALITAS EMOSIONAL
Kubzansky adalah satu peneliti utama yang mengikuti kesehatan lebih dari 6000 pria dan perempuan berusia 25 - 74 tahun selama 20 tahun. Ia menemukan, misalnya, vitalitas emosional - rasa antusias, berpengharapan, kegairahan dalam hidup ( elan vetalea ) dan kemampuan menghadapi tekanan kehidupan - terbukti turunkan risiko penyakit jantung koroner. Effek protektifnya amat nyata dan dapat diukur, kendati sudah memperhitungkan variabel perilaku, seperti tak merokok dan melakukan latihan fisik teratur.
Di antara lusinan makalah yang sudah dipublikasikan HSPH sejak tahun 2007, Kubzansky juga memaparkan bahwa anak-anak yang dapat tetap fokus untuk melakukan tugas dan memiliki penampilan yang lebih positif pada usia 7 tahun dilaporkan memiliki kesehatan umum yang lebih baik dan mengalami sedikit penyakit 30 tahun kemudian. Optimisme terbukti juga memangkas risiko penyakit jantung koroner sampai separuh.
Riset epidemiologi yang dilakukan Kubzansky dan timnya merupakan perpaduan antara psikologi eksperimental dan kesehatan masyarakat. Riset HSPH ini merupakan terobosan karena membantah anggapan dan pendapat lama yang menyatakan bahwa emosi positif menandai absennya suasana hati negatif dan kebiasaan yang merusak tubuh. Kubzansky tak sependapat dengan pandangan ini. "Kami percaya bahwa ada yang melampaui fenomena ini dan kami para ilmuwan baru saja mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit bukti adanya mekanisme biologis, perilaku dan kognitif yang mungkin berkelindan."
Riset sebelum ini terbukti mendukung temuan Kubzansky. Tahun 1979, Lisa Berkman, Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Pembangunan Harvard waktu itu menerbitkan hasil riset terhadap sekitar 7000 orang dewasa di Alameda, California. Partisipan yang dilaporkan kurang memiliki ikatan sosial pada awal survei ternyata lebih dari dua kali peluangnya meninggal setelah diikuti selama sembilan tahun.
Akhirnya dr. Nalini memberikan beberapa tips praktis untuk menjaga keseimbangan antara kesehatan jiwa dan kesehatan fisik, misalnya lebih aktif terlibat dalam kegiatan sosia, tak jadi pencemas dan menghilangkan perasaan-perasaan negatif, harapan yang tak realistis perlu diturunkan, berorientasi pada saat ini, menjadi diri sendiri, lebih teratur dalam hidup, menyukai humor dan tersenyum/tertawa, serta melakukan kegiatan relaksasi, seperti meditasi hingga pijat, yoga dan spa.
"Humor dan tertawa terbukti dapat meningkatkan antibodi Immunoglobulin A ( IgA ) yang membantu melawan infeksi, meningkatkan jumlah sel-sel T yang berguna untuk melawan penyakit dan dapat menurunkan tekanan darah," kata dr. Nalini. Karena itu rajinlah tertawa, mumpung tertawa itu belum dilarang. Yang diingat asal bukan tertawa sendirian yang tak jelas penyebabnya. Dan jangan lupa: Dolce far niente.
Sumber : Laporan Iptek Kompas Rabu 02/02/2011 oleh Irwan Julianto.