LASEM KOTA ZIARAH SUNAN BONANG.
Matahari benar-benar terik membakar perjalanan sehat dengan reiki bersama kerabat kerja dalam kendaraan yang dipacu kencang selepas Kota Rembang. Siang tadi pemandangan yang bisa dijumpai selepas Rembang menuju Lasem adalah tambak garam milik penduduk yang terhampar di kanan kiri jalan raya. Dalam cuaca terik matahari menjelang asar, banyak petani garam sedang bekerja mengairi sawahnya dengan air laut yang merupakan modal pembuatan garam laut.
Ya kota Lasem tujuan perjalanan kali ini. Kunjungan ini adalah kunjungan yang kedua kalinya. Dua puluh delapan tahun (28) silam, sehat dengan reiki bersama kerabat kerja produksi film melakukan shooting film tvri dengan mengambil lokasi Rembang dan Lasem di mana keberadaan bangunan kuno khas Pecinan sampai saat ini masih dijumpai dan terawat dengan baik. Jangan membandingkan Lasem dengan Semarang dalam hal pertumbuhan tata kota ya?
Siang tadi kami tiba dan hadir di kota Lasem kembali. Menatap bangunan kuno khas Lasem di Kampung Sumber Girang yang ditemui adalah kesunyian layaknya kita berada di Perkampungan Kuno Tiongkok. Bangunan kuno yang 28 tahun lalu dijadikan lokasi shooting pun masih tertata rapi dan kesan kunonya makin terlihat manakala kita menyusuri gang-gang sempit di kampung ini.
Bangunan kuno bergaya China dengan tembok tinggi melingkari halaman seakan-akan sedang menyapa kehadiran saya yang kedua kalinya di kampung ini.
Di dalam bangunan kuno itulah Aktor Farouk Afero, Conni Sutejo dan Fery Fadly yang kemudian terkenal sebagai pemain Sandiwara Radio Saur Sepuh beradu akting. Saat itu seluruh penduduk Kampung Sumber Giang tumpah ruah mendatangi lokasi shooting hanya sekedar minta tanda tangan aktor-aktris pujaannya.
Saya masih ingat pengambilan gambar waktu itu berlangsung selama 25 hari. Kebetulan Sang Pemilik bangunan kuno tempat lokasi shooting dilakukan adalah seorang Saudagar Batik Lasem. Beliau memimpin perusahaan batik dan menjadikan tempat tinggalnya sebagai pabrik batik di mana pekerjanya berkarya di dalam benteng ini.Di samping memproduksi batik di gudang milik saudagar ini juga tersimpan guci-guci kuno Tiongkok yang masih tertata rapi.
Memang kota Lasem merupakan kota tua penuh peninggalan masa lalu. Peninggalan kotanya bukan terkait dengan keberadaan Etnis Cina saja yang sudah bermukim turun temurun di kota ini, melainkan terkait juga dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa.Lasem memang unik. Di kota ini kerukunan antara etnis Cina dan Jawa hidup secara berdampingan selama ratusan tahun terus terbina dengan baik. Mereka bahkan pernah bersama-sama berjuang mengusir Penjajah Belanda dari Tanah Jawa.
Keberadaan Lasem sebagai jalur masuknya pendatang Cina dan penyebaran Agama Islam di wilayah ini menjadikan Lasem kaya akan peninggalan religi yang bersejarah. Peninggalan yang terkait dengan religi di Lasem digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama agama yang dianut etnis pendatang Cina dan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu Wali Songo penyebar Agama Islam di daerah pantura ini.
Tatkala berkunjung ke Lasem di tahun 1981 dulu, pernah terbayang dalam ingatan saya ketika ingin menelepon ke Jakarta saja memerlukan waktu tunggu 3 jam mengingat SLJJ nya masih memakai pesawat engkol. Oleh operatornya saluran telepon disambungkan dulu ke operator di Semarang baru disambungkan ke Jakarta. "Oh pantesan waktu tunggunya lama sekali," begitu celetuk rekan-rekan kerja waktu itu tatkala antri ingin menelepon ke kerabat di Jakarta malam hari.
Tapi itu dulu Mas/Mbak? saat itu hanya ada satu tempat telepon umum milik Telkom. Kalau sekarang wartel ada, bahkan warnet juga ada. Bahkan di perempatan dekat Masjid Agung Lasem pengojek sepeda motor, abang becak, bakul pasar terlihat memakai HP sebagai alat komunikasi orang modern. Saat ini HP sudah menjadi kebutuhan setiap orang dari berbagai kalangan sebagai alat komunikasi tanpa kabel.
KELENTENG DAN KOPI.
Keunikan Kota Lasem bukan hanya bangunan Kuno khas Etnis China saja. Di kota ini juga ada Klenteng Bie Yong Gio yang didirikan tahun 1780. Klenteng ini didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan Kota Lasem dalam perang melawan VOC pada tahun 1742 dan 1750. Perang ini dipimpin oleh tiga orang pahlawan yaitu Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat) yang merupakan Adipati Lasem (1727-1743) dan menjabat Mayor Lasem (1743-1750).
Sebelumnya Raden Panji Margono seorang Islam Jawa yang menjabat Adipati Lasem 1717-1727. Yang terakhir adalah Tan Kee Wie seorang Pendekar Kungfu dan pengusaha Lasem. Perlawanan tersebut berhasil dipatahkan Kompeni atas bantuan pasukan dari Madura. Penghormatan pahlawan Islam-Jawa menunjukkan kerukunan antar Jawa-Cina sekaligus menunjukkan toleransi antar umat beragama yang cukup baik.
Setelah melakukan napak tilas mengunjungi kelenteng ini kita bisa istirahat sejenak menikmati kopi khas Lasem yang disebut kopi lelet. Disebut kopi lelet karena endapan air kopi digunakan untuk membatik (nglelet) di batang rokok. Alat untuk membatik bukan dari canting tetapi batang korek yang ujungnya runcing. Caranya minuman kopi dituangkan di piring alas cangkir. Lalu airnya diminum menyisakan endapan kopi.
Agar endapan lebih kering digunakan digunakan kertas tissue untuk menyerap air. Endapan kopi kemudian dicampur dengan susu kental manis agar lengket baru digunakan untuk ngleleti batang rokok. Keberadaan kopi lelet di Lasem menunjukkan kuatnya budaya membatik penduduk Lasem yang tidak dimiliki penduduk lain. Apa dan bagaimana batik Lasem dibuat, Insya allah akan ditulis di postingan berikutnya.
Sehat dengan reiki menulis dari Lasem untuk sekolah internet.
Matahari benar-benar terik membakar perjalanan sehat dengan reiki bersama kerabat kerja dalam kendaraan yang dipacu kencang selepas Kota Rembang. Siang tadi pemandangan yang bisa dijumpai selepas Rembang menuju Lasem adalah tambak garam milik penduduk yang terhampar di kanan kiri jalan raya. Dalam cuaca terik matahari menjelang asar, banyak petani garam sedang bekerja mengairi sawahnya dengan air laut yang merupakan modal pembuatan garam laut.
Ya kota Lasem tujuan perjalanan kali ini. Kunjungan ini adalah kunjungan yang kedua kalinya. Dua puluh delapan tahun (28) silam, sehat dengan reiki bersama kerabat kerja produksi film melakukan shooting film tvri dengan mengambil lokasi Rembang dan Lasem di mana keberadaan bangunan kuno khas Pecinan sampai saat ini masih dijumpai dan terawat dengan baik. Jangan membandingkan Lasem dengan Semarang dalam hal pertumbuhan tata kota ya?
Siang tadi kami tiba dan hadir di kota Lasem kembali. Menatap bangunan kuno khas Lasem di Kampung Sumber Girang yang ditemui adalah kesunyian layaknya kita berada di Perkampungan Kuno Tiongkok. Bangunan kuno yang 28 tahun lalu dijadikan lokasi shooting pun masih tertata rapi dan kesan kunonya makin terlihat manakala kita menyusuri gang-gang sempit di kampung ini.
Bangunan kuno bergaya China dengan tembok tinggi melingkari halaman seakan-akan sedang menyapa kehadiran saya yang kedua kalinya di kampung ini.
Di dalam bangunan kuno itulah Aktor Farouk Afero, Conni Sutejo dan Fery Fadly yang kemudian terkenal sebagai pemain Sandiwara Radio Saur Sepuh beradu akting. Saat itu seluruh penduduk Kampung Sumber Giang tumpah ruah mendatangi lokasi shooting hanya sekedar minta tanda tangan aktor-aktris pujaannya.
Saya masih ingat pengambilan gambar waktu itu berlangsung selama 25 hari. Kebetulan Sang Pemilik bangunan kuno tempat lokasi shooting dilakukan adalah seorang Saudagar Batik Lasem. Beliau memimpin perusahaan batik dan menjadikan tempat tinggalnya sebagai pabrik batik di mana pekerjanya berkarya di dalam benteng ini.Di samping memproduksi batik di gudang milik saudagar ini juga tersimpan guci-guci kuno Tiongkok yang masih tertata rapi.
Memang kota Lasem merupakan kota tua penuh peninggalan masa lalu. Peninggalan kotanya bukan terkait dengan keberadaan Etnis Cina saja yang sudah bermukim turun temurun di kota ini, melainkan terkait juga dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa.Lasem memang unik. Di kota ini kerukunan antara etnis Cina dan Jawa hidup secara berdampingan selama ratusan tahun terus terbina dengan baik. Mereka bahkan pernah bersama-sama berjuang mengusir Penjajah Belanda dari Tanah Jawa.
Keberadaan Lasem sebagai jalur masuknya pendatang Cina dan penyebaran Agama Islam di wilayah ini menjadikan Lasem kaya akan peninggalan religi yang bersejarah. Peninggalan yang terkait dengan religi di Lasem digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama agama yang dianut etnis pendatang Cina dan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu Wali Songo penyebar Agama Islam di daerah pantura ini.
Tatkala berkunjung ke Lasem di tahun 1981 dulu, pernah terbayang dalam ingatan saya ketika ingin menelepon ke Jakarta saja memerlukan waktu tunggu 3 jam mengingat SLJJ nya masih memakai pesawat engkol. Oleh operatornya saluran telepon disambungkan dulu ke operator di Semarang baru disambungkan ke Jakarta. "Oh pantesan waktu tunggunya lama sekali," begitu celetuk rekan-rekan kerja waktu itu tatkala antri ingin menelepon ke kerabat di Jakarta malam hari.
Tapi itu dulu Mas/Mbak? saat itu hanya ada satu tempat telepon umum milik Telkom. Kalau sekarang wartel ada, bahkan warnet juga ada. Bahkan di perempatan dekat Masjid Agung Lasem pengojek sepeda motor, abang becak, bakul pasar terlihat memakai HP sebagai alat komunikasi orang modern. Saat ini HP sudah menjadi kebutuhan setiap orang dari berbagai kalangan sebagai alat komunikasi tanpa kabel.
KELENTENG DAN KOPI.
Keunikan Kota Lasem bukan hanya bangunan Kuno khas Etnis China saja. Di kota ini juga ada Klenteng Bie Yong Gio yang didirikan tahun 1780. Klenteng ini didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan Kota Lasem dalam perang melawan VOC pada tahun 1742 dan 1750. Perang ini dipimpin oleh tiga orang pahlawan yaitu Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat) yang merupakan Adipati Lasem (1727-1743) dan menjabat Mayor Lasem (1743-1750).
Sebelumnya Raden Panji Margono seorang Islam Jawa yang menjabat Adipati Lasem 1717-1727. Yang terakhir adalah Tan Kee Wie seorang Pendekar Kungfu dan pengusaha Lasem. Perlawanan tersebut berhasil dipatahkan Kompeni atas bantuan pasukan dari Madura. Penghormatan pahlawan Islam-Jawa menunjukkan kerukunan antar Jawa-Cina sekaligus menunjukkan toleransi antar umat beragama yang cukup baik.
Setelah melakukan napak tilas mengunjungi kelenteng ini kita bisa istirahat sejenak menikmati kopi khas Lasem yang disebut kopi lelet. Disebut kopi lelet karena endapan air kopi digunakan untuk membatik (nglelet) di batang rokok. Alat untuk membatik bukan dari canting tetapi batang korek yang ujungnya runcing. Caranya minuman kopi dituangkan di piring alas cangkir. Lalu airnya diminum menyisakan endapan kopi.
Agar endapan lebih kering digunakan digunakan kertas tissue untuk menyerap air. Endapan kopi kemudian dicampur dengan susu kental manis agar lengket baru digunakan untuk ngleleti batang rokok. Keberadaan kopi lelet di Lasem menunjukkan kuatnya budaya membatik penduduk Lasem yang tidak dimiliki penduduk lain. Apa dan bagaimana batik Lasem dibuat, Insya allah akan ditulis di postingan berikutnya.
Sehat dengan reiki menulis dari Lasem untuk sekolah internet.
kopi lelet nikmatnya tiada bandingan. aku pernah nyoba sekali waktu ke sana...hemm kapan ya ke sana lagi??
Wah asyik ya perjalanannya...kapan2 juga pengen ni merasakan enaknya kopi lelet...dan mengunjungi keindahannya..yah kalau ada rezeki tentunya